Waspadai Permainan Babak Kedua

Oleh : Wahyu Hidayat (Pemerhati masalah pinggiran)

Dalam tataran Pemilukada Fakfak, saya berasumsi, mungkin akan lebih banyak orang yang setuju ketimbang yang tidak setuju, andai saya ketengahkan kalimat; “Gejolak Pemilukada Fakfak, sejatinya adalah pertarungan awal antara Abraham O Atururi VS Wahidin Puarada.” Jika demikian, berarti akan ada pertarungan lanjutan, alias pertarungan babak kedua.


Jujur, saya tidak begitu mengenal sosok Abraham O Atururi. Saya hanya bisa memprediksi berdasar klausul “biasanya”, dicampur sedikit dengan bumbu kejadian yang pernah terjadi di negeri ini.

Dalam dunia militer, kita mengenal doktrin militer yang dulu pernah diadopsi kepolisian juga, yakni hancurkan musuh! Biasanya, yang namanya doktrin yang telah melekat selama bertahun-tahun dalam karier hidupnya, tentu tidak mudah melupakan atau bahkan menghapus doktrin ini, meski kini seorang Abraham, yang biasa dipanggil Bram, lebih banyak berkecimpung di dunia birokrat sipil. Apalagi, Bram adalah perwira tinggi.

Dalam Pemilukada Fakfak, “campur tangan” seorang Bram yang notabene seorang gubernur, tentu tidak bisa dikesampingkan. Apalagi, konon kabarnya, Bupati Fakfak saat ini, Wahidin Puarada juga mengincar kursi gubernur yang diduduki Bram baru satu periode. Adalah wajar siapapun orangnya, menginginkan jabatan dan kekuasaannya tetap langgeng, kalau perlu selama hidupnya. Namun karena dibatasi aturan hukum, maka hal yang wajar dilakukan adalah mempertahankan jabatan dan kekuasaannya, selama yang diijinkan oleh undang-undang, yaitu dua periode.

Atau, kalau mau turun gengsi sedikit ditambah membuang rasa malu, bisa meniru pola pertahanan kekuasaan ala mantan Walikota Surabaya, Bambang DH yang kini “rela” menjadi Wakil Wali Kota Surabaya, setelah perjuangan penuh keringat di dua periode. Artinya, demi “mengemban amanah rakyat dan meneruskan program yang sedang berjalan”, Bambang DH bertarung kembali untuk kali ketiga dengan posisi “hanya” wakil wali kota.

Pemilukada Fakfak, bagi Bram bukan Pilkada biasa seperti Pilkada di Kaimana, Bintuni, Sorong Selatan, atau tempat lain. Pemilukada Fakfak, lebih istimewa dibanding Pemilukada di daerah lain. Semisal pemain catur, tentu Bram berkepentingan menempatkan kuda, menteri, atau sekadar pion di daerah-daerah yang melaksanakan Pemilukada. Ini dilakukan demi menyelamatkan mahkota ratu yang jika lengah dapat di-skak mat oleh lawan politiknya. Apalagi dalam dunia politik, tiada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan. Selagi dibutuhkan, maka dia adalah kawan. Jika sudah usang, tinggal tendang dibuang. Maka tidak ada jalan lain, bupati plus wakil bupati di kabupaten-kabupaten di Papua Barat, harus “orang dalam”. Minimal, orang yang mendapat restu gubernur.

Maka saya ingin menempatkan “pertarungan Abraham O Atururi VS Wahidin Puarada” dalam bingkai kacamata politik.

Sejak awal Pemilukada Fakfak, saya yakin 90%, siapapun musuh politik calon bupati-wakil bupati Said Hindom-Ali Baham Temongmere yang semua orang tahu adalah “orang yang mendapat restu” dari Bupati Wahidin Puarada, pasti adalah “orang yang mendapat restu” dari gubernur. Maka jangan heran jika di awal tahapan Pemilukada, semua pasangan kandidat merasa bahkan mempublikasikan diri sebagai kandidatnya gubernur.

Saya pernah sowan alias bertamu ke rumah calon bupati dan calon wakil bupati beda pasangan non ABS alias Asal Bukan Sahabat. Kebetulan tuan rumah yang ingin saya temui sedang tidak ada di rumah. Oleh “cantrik alias abdi dalemnya” dikatakan sedang ke Manokwari dipanggil gubernur. Maka dalam hati saya mencatat, prediksi saya setidaknya mulai terbukti.

Dan saya yakin 90%, pemenang event Pemilukada Fakfak ini adalah laksana pion yang dimainkan oleh sang pemain catur. Pion ini dipasang di barisan terdepan sebagai benteng pertahanan awal. Kalaupun pion harus dikorbankan dimakan lawan, maka sang pemain catur masih memiliki waktu pasang kuda-kuda.

Kemenangan di Fakfak, merupakan kunci awal penghancuran citra positif seorang Wahidin di Papua Barat, dengan asumsi, bagaimana mau maju sebagai calon gubernur jika bermain di Fakfak saja sudah kalah. Pemilukada Fakfak dengan berbagai masalahnya, adalah medan test case, ladang uji coba. Dan runyamnya, ini baru babak pertama!

Saya juga sudah memprediksi, Said Hindom- Ali Baham Temongmere (Sahabat) bakal menang di lini riil. Namun saya salah perhitungan tentang cara “kekalahan” Sahabat. Dan ini hal baru bagi saya. Di beberapa daerah utamanya di Jawa, kasus Pemilukada biasanya muncul di lini bawah yakni di tingkat TPS. Sedangkan KPU hampir pasti berpihak kepada incumbent atau “orang yang mendapat restu” incumbent. Hal ini wajar karena anggota KPUD biasanya dipilih oleh incumbent. Artinya, incumbent memilih orang-orang yang nantinya akan berpihak kepadanya saat dibutuhkan. Jadi, jika saat ini KPU dituding tidak berpihak kepada incumbent, berarti telah terjadi “salah selidik dan salah didik”.

Kekalahan Sahabat dengan cara baru ini, bagi saya memunculkan satu kalimat, ini cara yang nekat! Tapi saya akui, inilah strategi politik. Apapun, jika diatur dengan strategi yang jitu, maka besar kemungkinan akan menang. Tetapi sekali lagi, ini baru babak pertama!

Saya melihat kemungkinan besar akan segera berlangsung pertarungan babak kedua. Namun yang saya maksud bukan pertarungan Bram VS Wahidin di kancah perebutan kursi gubernur, namun mundur satu level sebelumnya, yakni pra pencalonan gubernur.

Strategi militer pasti beda dengan strategi sipil. Strategi seorang demokrat tentu tidak sama dengan seorang PPP. Strategi seorang Wahidin yang relatif pendiam akan beda dengan strategi seorang Bram yang mengaku cukup lama mengenal “suroboyoan”.

Kedekatan pejabat-pejabat di Muspida propinsi antara dengan Bram dan dengan Wahidin tentu beda pula. Meski tidak terlibat langsung, namun piranti kedekatan ini akan dipergunakan saat diperlukan, tinggal tekan remote. Waktu jabatan bupati bagi Wahidin yang segera berakhir, juga turut mempengaruhi permainan. Bram masih memiliki cukup waktu untuk memainkan “tinta dan tandatangannya”.

Alternatif yang dapat menjelma menjadi senjata babak kedua adalah strategi babat putus lewat jalur hukum, semisal menjerat lawan politik dengan kasus pidana atau korupsi. Strategi ini terbuka lebar untuk dimainkan dan saat ini belum dimainkan. Namun bisa saja sedang dirancang. Strategi ini terbuka untuk dimainkan dengan memanfaatkan kedekatan antar pejabat hukum di level gubernur dengan memainkan hirarki jabatan.

Sekitar setahun lalu, dalam udangan makan malam di Jalan Baru, seorang petinggi penegak hukum di Fakfak, tidak menampik kemungkinan pemakaian jalur hukum untuk menjegal lawan politik. Dari pembicaraan tersebut, saya berasumsi, instansi hukum tersebut bukannya diam dan tidak tahu adanya spot-spot dugaan terjadinya tindak pelanggaran hukum yang bisa dipakai untuk menjegal langkah pencalonan gubernur.

Sebagai manusia, apalagi menjabat bupati selama 10 tahun, tentu ada celah yang bisa dimasuki strategi ini. Boleh jadi Wahidin Puarada tidak tahu perbuatan anak buahnya, namun tanggungjawab tidak bisa dilepas begitu saja oleh seorang Bupati.

Satu kasus yang persis sama dengan Fakfak adalah di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Bupati Jember saat itu, Syamsul Hadi S, ancang-ancang akan maju mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Timur yang saat itu dijabat oleh Mayjen (purn) Imam Oetomo. Puncaknya, sang bupati terjegal dengan sandungan kasus korupsi dan dipenjara. Impian maju sebagai kandidat gubernur pupus seketika. Memang tidak ada bukti riil bahwa Gubernur turut bermain. Namun sangkaan itu juga sulit dihindari.

Inilah prediksi pertarungan babak kedua. Namun jujur saya tidak tahu, apakah Wahidin termasuk musuh politik nomor wahid bagi Bram. Tetapi, jurus babak kedua minimal dipakai untuk mengurangi lawan. Sebab, mengurangi lawan tentu jauh lebih baik daripada harus berkeringat menggugat di Mahkamah Konstitusi nantinya. Sekali lagi, ini biasanya… ***

Sumber :
FAKFAK INFO


0 Response to "Waspadai Permainan Babak Kedua"

Post a Comment